Site icon My Blog

Sengketa 4 Pulau dengan Sumut, Gubernur Aceh: Wajib Kita Pertahankan

I. Pendahuluan

Sengketa wilayah antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) terkait empat pulau di perairan Aceh Singkil telah menjadi isu penting dalam dinamika politik dan sosial di Indonesia. Keempat pulau tersebut—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—secara administratif telah dipindahkan dari wilayah Aceh ke Sumut berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kemendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Namun, Pemerintah Aceh menilai keputusan tersebut tidak sesuai dengan sejarah, bukti fisik, dan kesepakatan sebelumnya, sehingga berkomitmen untuk mempertahankan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah Aceh.


II. Sejarah dan Aspek Hukum Sengketa

Sengketa ini berakar dari keputusan Kemendagri yang memindahkan empat pulau dari Aceh ke Sumut. Pemerintah Aceh menilai keputusan tersebut tidak sesuai dengan peta kesepakatan batas wilayah antara Aceh dan Sumut yang ditandatangani pada 22 April 1992 oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar, yang disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri Rudini. Peta tersebut menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut berada dalam wilayah Aceh. Selain itu, Pemerintah Aceh juga menunjukkan bukti fisik seperti tugu, rumah singgah nelayan, dan fasilitas lainnya yang dibangun oleh Pemerintah Aceh di pulau-pulau tersebut.


III. Respons Pemerintah Aceh dan Masyarakat

Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan masyarakat, menanggapi keputusan tersebut dengan serius. Mereka telah menyurati Kemendagri sejak 2017 hingga 2022 untuk meminta agar keempat pulau tersebut tetap menjadi bagian dari wilayah Aceh. Selain itu, Aliansi Gerakan Aceh Menggugat Mendagri (AGAMM) dibentuk sebagai wadah perjuangan rakyat Aceh dalam menolak kebijakan tersebut. AGAMM berkomitmen untuk memberikan dukungan moral dan masukan kepada berbagai pihak agar serius meninjau kembali keputusan tersebut.


IV. Perspektif Gubernur Sumut dan Upaya Penyelesaian

Gubernur Sumut, Bobby Nasution, menyatakan kesediaannya untuk mengkaji ulang pemindahan empat pulau tersebut demi menjaga harmonisasi antarwilayah. Namun, ia menekankan bahwa perubahan batas wilayah tidak bisa dilakukan sembarangan tanpa dasar hukum yang jelas. Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga hubungan baik antara masyarakat Aceh dan Sumut yang selama ini telah hidup berdampingan. Dalam pertemuan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut pada 4 Juni 2025, keduanya sepakat untuk mencari solusi bersama yang tidak merugikan salah satu pihak.


V. Aspek Sosial dan Budaya

Sengketa ini juga menyentuh aspek sosial dan budaya. Seperti yang disampaikan oleh Anggota Komisi II DPR, Khozin, tradisi masyarakat Aceh, seperti larangan mencari ikan di hari Jumat yang diatur dalam qanun Aceh, menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut memiliki nilai sosial dan budaya yang penting bagi masyarakat Aceh. Oleh karena itu, perubahan status administratif pulau-pulau tersebut harus mempertimbangkan aspek sosiologis dan budaya masyarakat setempat.


VI. Prospek Penyelesaian dan Rekomendasi

Untuk menyelesaikan sengketa ini, diperlukan pendekatan yang inklusif dan berbasis pada dialog antara Pemerintah Aceh, Pemerintah Sumut, dan Kemendagri. Rekomendasi yang dapat dipertimbangkan antara lain:

  1. Kajian Ulang Keputusan Kemendagri: Melakukan kajian ulang terhadap Keputusan Kemendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan kesepakatan sebelumnya.
  2. Dialog Antarprovinsi: Meningkatkan dialog antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Sumut untuk mencari solusi bersama yang menguntungkan kedua belah pihak.
  3. Penyelesaian Hukum: Jika diperlukan, membawa sengketa ini ke ranah hukum untuk mendapatkan keputusan yang adil dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  4. Perlindungan Sosial dan Budaya: Memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak mengabaikan aspek sosial dan budaya masyarakat Aceh yang telah lama hidup di pulau-pulau tersebut.

VII. Kesimpulan

Sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumut merupakan isu kompleks yang melibatkan aspek hukum, sosial, budaya, dan politik. Pemerintah Aceh berkomitmen untuk mempertahankan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah Aceh dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan kesepakatan sebelumnya. Penyelesaian sengketa ini memerlukan pendekatan yang inklusif dan berbasis pada dialog untuk mencapai solusi yang adil dan menguntungkan kedua belah pihak.

VIII. Dampak Sosial dan Ekonomi bagi Masyarakat

Keputusan pemindahan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara berdampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat setempat. Pulau Panjang, misalnya, telah menjadi destinasi wisata keluarga yang ramai dikunjungi wisatawan. Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil menjadikan Pulau Panjang sebagai destinasi wisata keluarga, dengan pantai yang aman untuk anak-anak .

Selain itu, keberadaan tugu, rumah singgah nelayan, dan fasilitas lainnya yang dibangun oleh Pemerintah Aceh di pulau-pulau tersebut menunjukkan adanya aktivitas ekonomi dan sosial yang melibatkan masyarakat Aceh. Perubahan status administratif pulau-pulau tersebut dapat mempengaruhi akses masyarakat Aceh terhadap sumber daya alam dan fasilitas yang telah ada.


IX. Perspektif Hukum dan Konstitusional

Menurut Zulhadi, Ketua Gerakan Pemuda Iskandar Muda (GePIM) Aceh, keputusan Menteri Dalam Negeri yang menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil beralih ke wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, berpotensi memicu konflik antarwarga dan melukai rasa keadilan masyarakat Aceh. Ia menegaskan bahwa keputusan tersebut tidak hanya sepihak, tetapi juga mencederai kekhususan Aceh yang dijamin dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006 .

Pemerintah Aceh berpendapat bahwa keputusan tersebut tidak sesuai dengan peta kesepakatan batas wilayah antara Aceh dan Sumut yang ditandatangani pada 22 April 1992. Peta tersebut menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut berada dalam wilayah Aceh, dan perubahan status administratif tanpa konsultasi dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional Aceh.


X. Upaya Penyelesaian dan Rekomendasi

Untuk menyelesaikan sengketa ini, diperlukan pendekatan yang inklusif dan berbasis pada dialog antara Pemerintah Aceh, Pemerintah Sumut, dan Kemendagri. Rekomendasi yang dapat dipertimbangkan antara lain:

  1. Kajian Ulang Keputusan Kemendagri: Melakukan kajian ulang terhadap Keputusan Kemendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan kesepakatan sebelumnya.
  2. Dialog Antarprovinsi: Meningkatkan dialog antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Sumut untuk mencari solusi bersama yang menguntungkan kedua belah pihak.
  3. Penyelesaian Hukum: Jika diperlukan, membawa sengketa ini ke ranah hukum untuk mendapatkan keputusan yang adil dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  4. Perlindungan Sosial dan Budaya: Memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak mengabaikan aspek sosial dan budaya masyarakat Aceh yang telah lama hidup di pulau-pulau tersebut.

XI. Kesimpulan

Sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumut merupakan isu kompleks yang melibatkan aspek hukum, sosial, budaya, dan politik. Pemerintah Aceh berkomitmen untuk mempertahankan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah Aceh dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan kesepakatan sebelumnya. Penyelesaian sengketa ini memerlukan pendekatan yang inklusif dan berbasis pada dialog untuk mencapai solusi yang adil dan menguntungkan kedua belah pihak.

XII. Latar Belakang Historis Wilayah dan Sengketa

Untuk memahami sengketa ini secara menyeluruh, perlu dilihat akar historis pembagian wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara. Pada masa lalu, wilayah Aceh dan Sumut merupakan bagian dari Kesultanan Aceh yang memiliki kekuasaan atas wilayah pesisir barat Sumatera. Namun, dalam perjalanan waktu setelah kemerdekaan RI, pembagian administratif wilayah mulai mengalami penyesuaian dan pemekaran yang terkadang menimbulkan sengketa, termasuk klaim atas pulau-pulau kecil di laut lepas.

Keempat pulau yang disengketakan—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—memiliki posisi strategis karena berlokasi di Selat Malaka, jalur pelayaran internasional yang sangat sibuk dan penting untuk ekonomi nasional dan regional. Selain itu, pulau-pulau ini memiliki nilai ekonomis seperti potensi perikanan dan pariwisata yang cukup tinggi.

Sejak tahun 1992, ketika peta batas wilayah antara Aceh dan Sumut disepakati, pulau-pulau tersebut diakui sebagai bagian dari wilayah Aceh. Namun, perubahan regulasi dan keputusan administratif Kemendagri pada 2025 yang memindahkan keempat pulau ini ke Sumut menimbulkan protes dan perlawanan dari Pemerintah Aceh dan masyarakatnya.


XIII. Dampak Sosial, Ekonomi, dan Politik

Dampak Sosial

Masyarakat Aceh yang telah lama bermukim dan memanfaatkan sumber daya di pulau-pulau tersebut merasa kehilangan hak dan akses atas wilayah tradisional mereka. Dalam budaya Aceh, keberadaan wilayah tidak hanya administratif tetapi juga identitas kultural yang mengikat masyarakat. Perpindahan administrasi pulau-pulau ini memicu ketegangan sosial, kekhawatiran terhadap marginalisasi masyarakat lokal, dan potensi konflik horizontal antar warga yang sebelumnya hidup berdampingan.

Dampak Ekonomi

Pulau-pulau tersebut selama ini menjadi sumber penghidupan bagi nelayan Aceh yang menggunakan perairannya untuk menangkap ikan. Jika pengelolaan dialihkan ke Sumut, akses nelayan Aceh bisa terbatas atau dikenai aturan baru yang tidak sejalan dengan kebiasaan mereka. Selain itu, potensi pariwisata yang dikembangkan oleh Pemerintah Aceh di Pulau Panjang juga terancam terganggu, yang dapat berimbas pada pendapatan daerah dan masyarakat.

Dampak Politik

Sengketa ini juga memperuncing hubungan antarprovinsi dan menguji peran Pemerintah Pusat sebagai mediator dan penengah. Isu kedaulatan wilayah menjadi simbol harga diri dan legitimasi politik Pemerintah Aceh yang memiliki status khusus dalam NKRI melalui Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Ketegangan ini bisa berdampak pada stabilitas politik daerah dan menghambat sinergi pembangunan lintas wilayah.


XIV. Pendekatan dan Strategi Penyelesaian Sengketa

Dialog Terbuka dan Mediasi

Kunci penyelesaian sengketa adalah dialog yang melibatkan semua pemangku kepentingan: Pemerintah Aceh, Pemerintah Sumut, Kemendagri, dan perwakilan masyarakat. Mediasi independen bisa difasilitasi oleh lembaga seperti Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Badan Nasional Penanggulangan Konflik.

Kajian Ulang dan Verifikasi Data Batas Wilayah

Melakukan kajian ulang atas keputusan Kemendagri yang mengacu pada data peta lama, bukti fisik di lapangan, serta dokumen hukum terkait. Pendekatan berbasis data akurat sangat penting untuk menentukan kepemilikan wilayah sesuai fakta sejarah dan hukum.

Penyusunan Peraturan Daerah Bersama

Jika memang ada persamaan kepentingan, bisa dibuat peraturan daerah bersama antara Aceh dan Sumut terkait pengelolaan pulau dan perairan yang menguntungkan kedua pihak, misalnya pengelolaan bersama dalam bidang pariwisata dan perikanan dengan pembagian hasil yang adil.

Perlindungan Hak-hak Masyarakat Lokal

Segala kebijakan harus mengakomodasi kepentingan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau tersebut, termasuk hak mengakses sumber daya alam, memelihara adat dan budaya, serta pemberdayaan ekonomi lokal.


XV. Peran Pemerintah Pusat dan Penguatan Tata Kelola Wilayah

Pemerintah Pusat melalui Kemendagri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu bertindak sebagai penengah yang adil dan objektif. Selain itu, penguatan tata kelola wilayah melalui sistem informasi geografis (SIG) dan teknologi peta digital akan membantu transparansi dan akurasi dalam menentukan batas wilayah.

Pusat juga harus memastikan keputusan administratif tidak mengabaikan perjanjian dan kesepakatan daerah serta norma hukum yang berlaku. Pendekatan partisipatif melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan menjadi sangat penting untuk menghindari konflik berkepanjangan.


XVI. Studi Kasus Sengketa Wilayah Serupa di Indonesia

Sengketa wilayah antarprovinsi bukan hal baru di Indonesia. Contohnya, konflik wilayah antara Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, serta sengketa pulau-pulau di perairan Sulawesi Selatan yang melibatkan provinsi tetangga. Dari studi kasus tersebut, penyelesaian yang berhasil umumnya melibatkan dialog terbuka, penggunaan data historis dan hukum, serta keterlibatan pihak ketiga sebagai mediator.

Belajar dari pengalaman tersebut, Aceh dan Sumut dapat mengadopsi mekanisme serupa untuk menyelesaikan sengketa empat pulau secara damai dan berkeadilan.


XVII. Kesimpulan dan Harapan

Sengketa empat pulau Aceh–Sumut adalah gambaran nyata kompleksitas pengelolaan wilayah di negara kepulauan seperti Indonesia. Keputusan administratif yang tidak berlandaskan pada kesepakatan bersama dan data faktual dapat menimbulkan ketegangan sosial dan politik.

Gubernur Aceh dan masyarakatnya berhak mempertahankan wilayah tradisional yang telah lama menjadi bagian dari identitas mereka. Namun, penyelesaian sengketa harus ditempuh secara dialogis, berbasis hukum, dan mengedepankan kepentingan rakyat.

Dengan komitmen bersama dan dukungan pemerintah pusat, diharapkan konflik ini dapat diselesaikan secara damai, menjaga persatuan antarprovinsi dan memberikan manfaat maksimal bagi kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau tersebut.

XVIII. Detil Sejarah Keempat Pulau dan Bukti Kepemilikan Aceh

Keempat pulau yang menjadi sengketa—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—memiliki rekam jejak sejarah yang kuat terkait Aceh, mulai dari administrasi hingga aktivitas masyarakat.

Bukti Dokumen dan Peta

Pada tahun 1992, batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara secara resmi digambarkan dalam peta batas wilayah yang ditandatangani oleh gubernur masing-masing provinsi dan disahkan oleh Menteri Dalam Negeri saat itu. Peta tersebut secara eksplisit menempatkan keempat pulau ini dalam wilayah administratif Aceh Singkil.

Selanjutnya, dokumen dan peta dari era kolonial Belanda juga menunjukkan keberadaan dan pengelolaan pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Aceh yang kemudian diadministrasikan ke dalam provinsi Aceh.

Bukti Fisik di Pulau-Pulau

Di pulau-pulau tersebut, terdapat sejumlah bukti fisik yang menunjukkan keberadaan Pemerintah Aceh, seperti tugu perbatasan yang dipasang oleh Pemerintah Aceh, rumah singgah nelayan yang dikelola oleh dinas perikanan Aceh, serta fasilitas lain yang mendukung aktivitas nelayan dan masyarakat lokal.

Keberadaan bukti fisik ini menjadi dasar kuat bagi Pemerintah Aceh dalam menolak pemindahan administrasi pulau-pulau ke Sumatera Utara.


XIX. Analisis Hukum Mengenai Status Pulau-Pulau

Secara hukum, pengelolaan dan penentuan batas wilayah antarprovinsi di Indonesia didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP), Undang-Undang, dan keputusan Menteri Dalam Negeri. Namun, perubahan batas administratif harus memenuhi syarat keterlibatan dan persetujuan pemerintah daerah terkait dan mempertimbangkan aspek historis serta sosial budaya.

Ketentuan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA)

Aceh memiliki status khusus dalam NKRI berdasarkan UUPA Nomor 11 Tahun 2006. Status ini memberikan Aceh otonomi luas, termasuk dalam pengelolaan wilayah dan sumber daya alamnya. Pemindahan wilayah administratif yang menghilangkan bagian wilayah Aceh harus mendapat persetujuan yang jelas dan tidak boleh merugikan hak Aceh sebagai daerah otonom khusus.

Aspek Konstitusional

Perubahan wilayah provinsi harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan aturan turunannya. Keputusan yang diambil tanpa melibatkan Pemerintah Aceh dan tanpa konsultasi publik bisa dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hukum administrasi negara.


XX. Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah Pusat

Pemerintah Pusat, terutama Kementerian Dalam Negeri, memiliki peran strategis untuk memastikan proses perubahan batas wilayah berjalan transparan dan adil. Kementerian harus menjamin kepentingan semua pihak, tidak hanya administratif, tetapi juga sosiokultural dan ekonomi.

Dalam sengketa ini, Pemerintah Pusat dapat:

Langkah ini penting agar keputusan final mendapatkan legitimasi dan tidak menimbulkan ketegangan berkepanjangan.


XXI. Potensi Konflik dan Risiko Jika Sengketa Tidak Diselesaikan

Jika sengketa ini dibiarkan tanpa penyelesaian, beberapa risiko yang mungkin terjadi antara lain:


XXII. Rekomendasi Strategis dan Kebijakan

Untuk menghindari risiko di atas, berikut beberapa rekomendasi strategis:

  1. Penguatan Dialog Lintas Daerah: Fasilitasi pertemuan rutin dan dialog antara Pemerintah Aceh, Sumut, dan pemerintah pusat.
  2. Pengembangan Wilayah Bersama: Buat zona pengelolaan bersama (joint management area) untuk mengelola pulau dan laut di sekitarnya dengan mekanisme pembagian hasil yang adil.
  3. Pelibatan Masyarakat: Libatkan tokoh masyarakat, adat, dan nelayan dalam proses pengambilan keputusan.
  4. Transparansi Data: Gunakan teknologi peta digital dan sistem informasi geografis (SIG) agar data batas wilayah dapat diakses publik.
  5. Perlindungan Budaya dan Sosial: Pertahankan tradisi dan nilai-nilai lokal dalam kebijakan pengelolaan wilayah.

XXIII. Refleksi dan Penutup

Sengketa empat pulau Aceh-Sumut bukan hanya soal batas administratif, tetapi juga soal identitas, hak, dan kesejahteraan masyarakat. Komitmen bersama untuk menjaga perdamaian, keadilan, dan persatuan menjadi sangat penting agar wilayah ini dapat dikelola dengan baik demi masa depan yang harmonis dan sejahtera.

Gubernur Aceh menegaskan, “Wajib kita pertahankan,” sebagai ungkapan semangat mempertahankan kedaulatan dan hak daerah. Namun semangat tersebut harus diiringi dengan kepala dingin, dialog terbuka, dan kerja sama demi solusi yang terbaik.

XXIV. Perspektif Masyarakat dan Peran Tokoh Adat

Masyarakat lokal yang bermukim di pulau-pulau sengketa memiliki hubungan emosional dan kultural yang kuat dengan wilayah tersebut. Pulau-pulau tersebut bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga sumber penghidupan, tempat beraktivitas sosial, dan simbol identitas budaya.

Tokoh adat dan pemuka masyarakat di Aceh menegaskan bahwa pemindahan administrasi pulau-pulau ini tanpa melibatkan mereka merupakan bentuk pengabaian terhadap hak dan martabat masyarakat lokal. Mereka mengingatkan pentingnya mempertahankan kearifan lokal serta perlunya pemerintah mendengarkan aspirasi rakyat kecil agar tidak menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan.


XXV. Studi Kasus: Penyelesaian Sengketa Wilayah di Kabupaten Sigi dan Donggala

Sebagai contoh bagaimana penyelesaian sengketa wilayah dapat ditempuh secara damai dan efektif, kita dapat melihat kasus di Sulawesi Tengah antara Kabupaten Sigi dan Donggala yang sempat berselisih soal batas wilayah.

Pemerintah pusat memfasilitasi dialog dan kajian ulang peta batas dengan melibatkan akademisi dan tokoh masyarakat setempat. Mereka menyepakati zonasi tertentu yang mengakomodasi kepentingan kedua kabupaten secara adil, serta membuat perjanjian bersama untuk pengelolaan wilayah secara kolaboratif.

Model ini bisa menjadi inspirasi bagi Aceh dan Sumut dalam menangani sengketa empat pulau agar tidak terjadi konflik berkepanjangan dan tetap menjaga hubungan baik antar daerah.


XXVI. Potensi Ekonomi dan Pengembangan Berkelanjutan Pulau-Pulau Sengketa

Keempat pulau ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi kawasan ekonomi khusus, terutama di bidang pariwisata dan perikanan. Pengembangan yang berkelanjutan akan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.

Beberapa peluang yang dapat digarap:

Pengembangan ini hanya bisa berjalan lancar jika status wilayah jelas dan mendapat dukungan semua pihak.


XXVII. Tinjauan Media dan Opini Publik

Media massa lokal dan nasional banyak memberitakan sengketa ini dengan sudut pandang beragam. Sebagian mendukung penuh Pemerintah Aceh mempertahankan pulau-pulau tersebut, mengingat simbol kedaulatan dan identitas daerah. Sementara sebagian lain menyoroti pentingnya penyelesaian administratif secara legal dan damai.

Opini publik di media sosial juga menunjukkan adanya kekhawatiran masyarakat Aceh akan kehilangan hak atas wilayah yang telah lama mereka kelola. Namun, ada juga seruan untuk mencari solusi yang mengedepankan dialog dan persatuan bangsa.


XXVIII. Peran Akademisi dan Peneliti dalam Mendukung Penyelesaian

Para akademisi dan peneliti dari universitas di Aceh dan Sumut memiliki peran penting dalam melakukan kajian objektif dan memberikan rekomendasi berbasis data ilmiah. Kajian ini mencakup aspek historis, hukum, sosial budaya, dan ekonomi.

Hasil riset dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah dalam mengambil keputusan yang tepat dan adil, sekaligus mengurangi potensi konflik yang bersifat emosional.


XXIX. Rangkuman dan Harapan ke Depan

Sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumut adalah tantangan yang harus dihadapi dengan kepala dingin, dialog terbuka, dan semangat kebersamaan. Wilayah-wilayah tersebut tidak hanya soal batas administratif, tetapi soal kehidupan masyarakat, budaya, dan masa depan ekonomi.

Pemerintah Aceh dengan tegas menyatakan: “Wajib kita pertahankan.” Namun, kata “pertahankan” tidak harus berarti konfrontasi, melainkan mempertahankan hak dengan cara yang bermartabat dan bijaksana.

Dukungan Pemerintah Pusat sangat krusial agar proses penyelesaian berjalan adil dan transparan, tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat. Dengan langkah-langkah strategis dan kolaborasi, diharapkan sengketa ini dapat diselesaikan secara damai dan memberikan manfaat bagi semua pihak.

baca juga : Link Streaming BMKG dan Jam Melihat Gerhana Bulan Total di Indonesia 14 Maret 2025

Exit mobile version